Tak jarang kita mendengar seseorang sangat care
dengan teman kantor atau baik pergaulannya dengan sahabatnya, akan
tetapi ia bisa saja jelek pergaulan bahkan kejam dengan istrinya. Perlu
diketahui bahwa bagaimana akhlak laki-laki dengan istrinya itu adalah
akhlaknya sebenarnya. Jadi jika ingin mencari testimoni akhlak seseorang
tanyalah kepada istrinya. Kemudian cara lainnya yaitu dengan
mengajaknya bersafar atau bertanya kepada teman yang sering bersafar
dengannya.
Akhlak laki-laki sesungguhnya adalah akhlak dengan istri di rumahnya
Akhlak
dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih
banyak di rumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena
hanya bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas
istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena
dengan istri dan keluarganya karena punya kemampuan untuk melampiaskan
akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya
jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan
melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya yang rendah
(misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh
orang lain.
Wanita adalah mahkluk yang lemah
di hadapan laki-laki, jika seseorang bisa mengusai dirinya dalam
bermuamalah dengan orang yang lemah maka itu penampakan akhlaknya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Al-Mubarakfuriy,
لأن كمال الإيمان يوجب حسن الخلق والإحسان إلى كافة الانسان (وخياركم خياركم لنسائه) لأنهن محل الرحمة لضعفهن
“Karena
kesempurnaan iman akan mengantarkan kepada kebaikan akhlak dan berbuat
baik kepada seluruh manusia. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik kepada istrinya, karena mereka para wanita adalah tempat
meletakkan kasih sayang disebabkan kelemahan mereka.”[1]
Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang
yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang
paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah
yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”[2]
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang
paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.”[3]
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadits,
في
ذلك تنبيه على أعلى الناس رتبة في الخير وأحقهم بالاتصاف به هو من كان
خير الناس لأهله، فإن الأهل هم الأحقاء بالبشر وحسن الخلق والإحسان وجلب
النفع ودفع الضر، فإذا كان الرجل كذلك فهو خير الناس وإن كان على العكس من
ذلك فهو في الجانب الآخر من الشر، وكثيرا ما يقع الناس في هذه الورطة،
فترى الرجل إذا لقي أهله كان أسوأ الناس أخلاقا وأشجعهم نفسا وأقلهم خيرا،
وإذا لقي غير الأهل من الأجانب لانت عريكته وانبسطت أخلاقه وجادت نفسه
وكثر خيره، ولا شك أن من كان كذلك فهو محروم التوفيق زائغ عن سواء الطريق،
نسأل الله السلامة
“Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa orang
yang pailng tinggi kebaikannya tertinggi dan yang paling berhak untuk
disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya.
Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan
mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat dan penolakan
mudharat. Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia
adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka
dia telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”[4]
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”[4]
Bagaimana kalau ia belum punya istri?
Ajaklah
ia bersafar/berpergian atau tanyalah kepada teman yang pernah bersafar
denganya. Ini juga salah satu cara agar mengetahui hakikat akhlak
seseorang.
Syaikh Muhammad bin shalih Al-Ustaimin berkata,
وسمي
سفرا لأنه من الإسفار وهو الخروج والظهور كما يقال أسفر الصبح إذا ظهر
وبان وقيل في المعنى سمي السفر سفرا لأنه يسفر عن أخلاق الرجال يعني يبين
ويوضح أحوالهم فكم من إنسان لا تعرفه ولا تعرف سيرته إلا إذا سافرت معه
وعندئذ تعرف أخلاقه وسيرته وإيثاره
“Diistilahkan safran [سَفْرًا l] karena diambil dari makna al-isfar [الْإِسْفَارُ ] yaitu: keluar dan terang, nyata. sebagaimana dikatakandalam ungkapan [أَسْفَرَ الصُّبْحُ] yaitu bersinar atau bercahaya. Secara makna disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya,
menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum
terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar/bepergian bersamanya. Ketika dalam safar itulah engkau mengetahui akhlak, perangai dan wataknya.”[5]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
وإنما
سمى السفر سفراً، أنه يسفر عن الأخلاق . وفى الجملة فالنفس فى الوطن لا
تظهر خبائث أخلاقهم لاستئناسها بما يوافق طبعها من المألوفات المعهودة،
فإذا حملت وعثاء السفر، وصرفت عن مألوفاتها المعتادة، ولامتحنت بمشاق
الغربة، انكشفت غوائلها، ووقع الوقوف على عيوبها
“Disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang. Pada
umumnya, seseorang yang tinggal di daerah asalnya tidak menampakkan
kejelekan akhlaknya karena ia terbiasa dengan apa yang seseuai dengan
tabiatnya yang biasa ia hadapi. Jika ia melakukan safar, maka tidak
tidak biasa lagi dengan keadaan dan kebiasaannya. Ia akan diuji dengan
kesusahan safar yang berat dan tersingkaplah kejelekan dan diketahui
aib-aibnya.”[6]
Dalam suatu riwayat mengenai Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,
كان عمر رضي الله عنه إذا زكى رجل شخصا عنده قال له هل سافرت معه هل عاملته إن قال نعم قبل ذلك وإن قال لا فقال لا علم لك به
“Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu ada seseorang yang merekomendasikan temannya, beliau bertanya, “Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah
engkau telah bergaul dengannya?” jika jawabannya “Ya.” maka Umar pun
menerimanya. Jika jawabannya “Belum pernah”, maka Umar akan mengatakan,
“Engkau belum mengetahui hakikat senyatanya tentang orang itu.”[7]
Sahabat sejati adalah sahabat di saat kesulitan dan kesusahan
Salah satu tolak ukurnya dengan safar karena safar identik dengan kesulitan dan kesusahan. Disaat senang dan tenang semua bisa jadi teman akan tetapi di saat sulit dan susah tidak semua bisa jadi teman yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّفَرُ
قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ
فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Bepergian itu bagian dari azab.
Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya. Maka,
bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia
menyegerakan diri kembali kepada keluarganya.”[8]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
ومن
كان في السفر آذى هو مظنة الضجر حِسنَ الخلق، كان في الحضر أحسن خلقاً
.وقد قيل : إذا أثنى على الرجل معاملوه بى الحضر ورفقاؤه في السفر فلا
تشكوا في صلاحه .
“Barangsiapa
yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap
berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan beraklak lebh
baik lagi. Sehingga dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika
tidak bersafar dan dipuji muamalahnya oleh para teman safarnya,maka
janganlah engkau meragukan kebaikannya.”[9]
Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad
wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
22 Jumadil awal 1432 H, Bertepatan 14 April 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
|
to-assunnah
|
0 comments:
Post a Comment